Sabtu, 17 Maret 2012

Pandangan mahasiswa tentang kewajiban menulis karya ilmiah sebagai syarat kelulusan

Datangnya SURAT Edaran (SE) Dirjen Dikti Nomor 152/ E/ T/ 2012 perihal kewajiban bagi mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 yang ingin lulus harus memublikasikan karya ilmiah di jurnal seperti menghadirkan mimpi buruk bagi sebagian para mahasiswa. Saya sendiri sangat tidak setuju dengan adanya menulis karya ilmiah wajib sebagai syarat kelulusan. Menentukan judul skripsi, tesis, atau disertasi saja sulit apalagi jika wajib menulis artikel di jurnal sebagai syarat kelulusan.
Saya membaca artikelnya Teuku Zulkhairi yang berkata “Saya yakin jika kebijakan tersebut diterapkan, maka akan bisa meminimalisir terjadinya praktek plagiasi di dunia kampus. Saya kira untuk maju memang harus sedikit dipaksa. Ketika seseorang telah berada dalam situasi terjepit dan terpaksa, maka ia akan mengeluarkan potensi dahsyatnya sehingga ia bisa menuntaskan tugas tersebut dengan baik. Kebijakan publikasi karya ilmiah ini jika diterapkan saat ini, meskipun akan menemui kekurangan dan tantangan disana-sini namun pasti akan memberikan pengaruh besar dimasa yang akan datang”.
Kadang saya prihatin dan sangat menyayangkan, melihat kebijakan-kebijakan yang memaksa seperti ini. Apakah DIKTI sudah melihat kondisi saudara-saudara kita di daerah untuk penerapan kebijakan ini? Jangankan fasilitas internet, fasilitas komputer di kampus saja mungkin tidak ada. Lalu ketika terjadi kebijakan yang memaksa seperti ini, pertanyaannya adalah dimana jaminan konstitusional semua warga negara untuk mendapatkan pendidikan?
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Apa hanya karena tidak dapat menulis di jurnal kemudian seseorang tidak boleh menyandang gelar akademiknya? Bukankah syarat tugas akhir-lah yang menentukan? Jika alasannya adalah karena ada plagiarisme skripsi, maka mengapa harus menggunakan jurnal ilmiah? Jika jurnalpun merupakan kewajiban (yang dipaksa), bukankah nanti bisa memunculkan joki-joki artikel jurnal? dan mari kita bayangkan, seperti apa jurnal yang akan muncul dari sebuah keterpaksaan menulis.
Saya juga membaca di Harian Sumut Pos seorang Rektor USU, Syahril Pasaribu berkata “Setiap tahun ada sekitar 6.000 mahasiswa yang tamat S1, jika semua membuat karya ilmiah belum tentu ada jurnal ataupun media yang siap memuat karya ilmiah para mahasiswa ini.Untuk itu, lanjutnya, perlu ada media yang disiapkan Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) untuk menyiapkan  jurnal ataupun media untuk menampung hasil karya mahasiswa.Jika jurnalnya sudah tersedia, mungkin tidak ada masalah kita wajibkan kepada mahasiswa untuk membuat karya ilmiah sebagai prasyarat kelulusan,ungkapnya”.
menurut saya pendidikan di Indonesia merupakan sebuah pemaksaan. setiap orang itu mempunyai bakat yang berbeda-beda, Tidak semua orang sangat menikmati dan menggemari menulis karya tulis ilmiah. Ada yang lebih berminat pada bidang lain, seperti arsitektur yang mendesain, mahasiswa teknik yang lebih berminat merakit komputer,  jurusan seni yang membuat karya seni dibandingkan menulis. Apa harus disamakan? Mungkin lebih baik penulisan jurnal disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing perguruan tinggi. Jika diwajibkan, nantinya dikhawatirkan akan terjadi penumpukan karya-ilmiah.
Jika edaran Dikti tersebut diberlakukan wajib menulis karya ilmiah sebagai syarat kelulusan, peluang terjadinya penjiplakan cukup besar, karena setiap mahasiswa berkeinginan studinya harus selesai, dan tidak semua mahasiswa memiliki kemampuan menulis secara baik dan benar. Yang memiliki kemampuan menulis pun terkadang mengambil jalan pintas dengan melakukan penjiplakan karya orang lain, karena mereka berorientasi pada hasil bukan proses. Jika penulisan jurnal ilmiah dijadikan sebagai syarat kelulusan, maka dikhawatirkan akan  munculnya jurnal yang sekedar tulis saja.

Daftar pustaka :
http://www.hariansumutpos.com
http://www.analisadaily.com
http://aceh.tribunnews.com

Selasa, 06 Maret 2012

PENGAJARAN KOOPERATIF TIPE STUDENT TEAM ACHIEDIVISIONVMENT (STAD)

PENGAJARAN KOOPERATIF TIPE STUDENT TEAM ACHIEDIVISIONVMENT (STAD) BAGI PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS
Guru selayaknya mampu mengolah ketiga hal tersebut dengan aspek lainnya dalam proses belajar mengajar (materi, sarana, waktu, dsb). Sehingga menjelma menjadi proses belajar mengajar yang dinamis dan inovativ. Kedudukan dan fungsi guru dalam kegiatan belajar dan mengajar saat ini masih sangat dominan. Salah satu kelemahaan yang nyata di lapangan adalah kurang fariatifnya guru dalam menyajikan materi pelajaran karena tertodong untuk mengajar pencapaian target yang telah di tentukan.
Guru bahasa indonesia memikul tanggung jawab,yaitu menciptapkan siswa yang terampil bahasa dan mampu menggunakan bahsa sebagai alat komunikasi. Sebagai acuan proses pembelajaran bahasa indonesia yang secara ideal harus mencetak lulusan yang terampil bahasa, orientasi akhir dariproses pembelajaran bahas (kurikulum 2006) mengarah pada penguasaan empat keterampilan bahasa, yaitu (1) Mendengarkan, (2) Berbicara, (3) Membaca, (4) Menulis.
Salah satu model pembelajaran yang dapat mengaktifkan proses pembelajaran menulis adalah model mengajar kooperatif Tipe Student Team Achievment Division (STAD). Model ini merupakan cabang dari model pembelajaran kooperatif yang berusaha memberdayakan interaksi antar siswa dalam dinamika kelompok.
Killen (1998 : 82) menyatakan pembelajaran kooperatif merupakan suatu teknik pengajaran dan satu filsafat pembelajaran yang mendorong siswa-siswanya untuk bekerja sama dan untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar dengan temannya. Terdapat dua langkah yang harus disiapkan untuk terwujudnya belajar kooperatif. Pertama perlu adanya motivasi peserta belajar (learning process) yang bercirikan kooperatif.
Joyce & Weil (2000:9) mengelompokan model mengajar menjadi 4 rumpun, yaitu (1) Information-Processing Models (Model pemrosesan informasi ), (2) Personal Models (Model pribadi), (3) Social Interaction Models (model interaksi sosial), (4) Behavioral Models (model prilaku). Information-Processing Model, yaitu model mengajar yang menjelaskan bagaimana cara individu memberi respons yang datang dari lingkungannya, dengan cara mengorganisasikan data, mempormulasikan masalah, membangun konsep, dan rencana pemesahan masalah serta penggunaan simbol-simbol verbal dan non verbal.Personal Models, berorientasi kepada perkembangan diri individu. Social interaction Models, mengutamakan hubungan individu dengan masyarakat atau orang lain, dan memusatkan perhatiannya kepada proses realita yang ada dan dipandang sebagai negosiasi sosial. Behavioral Models, dibangun atas dasar teori yang umum, yitu kerangka teori perilaku.
Lahirnya berbagai metode dalam pembelajaran bahasa tidak lepas dari perkembangan  kedua teori psikologi tersebut, terutama setelah redupnya metode Tata Bahasa Terjemahan (Grammar Translation method ) atau disebut juga metode tradisional. Berikut adalah penjelasan  mengenai kedua teori tersebut dan implementasinya dalam pembelajaran menulis.
1.    Teori Behavioristik
Prinsip behavioristik relatif sederhana, yakni suatu pandangan mengenai perilaku belajar yang kuncinya adalah peniruan model. Titik sentral kegiatannya terletak terletak pada proses penyempurnaan pelatihan untuk membentuk kebiasaan. Menurut para behavioristik, suatu kebiasaan terbentuk apabila suatu jawaban pada rangsangan secara konsisten diberikan hadiah. Jadi urutannya yaitu stimulus, respon, reinforsement, yang dalam psikologi behaviorisme disebut pembiasaan yang membuahkan hasil (operant conditioning).
2.    Teori Kognitif
Teori ini menegaskan bahwa setiap anak memiliki peranan yang aktif dalam belajar. Dalam pelaksanaan perannya itu, anak terlibat dengan kegiatan-kegiatan yang bergerak ke arah proses informasi. Kondisi seperti ini mengundang pemekaran proses intelektual anak . Ide viaget tentang belajar dan mengajar dijelaskan oleh Wad Worth sebagai berikut : (1) mengajar adalah kreasi lingkungan : (2) tuntuntan situasi belajar berbeda menurut ti[e-tipe pngetahuan fisika, ilmu sosial, dan logika : (3) logika dan ilmu sosial lebih cepat dipelajari anak melalui teman-temannya karena lingkungan sosial tersebut merupakan sumber motivasi dan informasi dalam pembentukan bahasa dan pengembangan intelektual anak (Wadworth dalam joyc dan weil, 200:110-112).
Landasan pembelajaran kooperatif
Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang didasarkan pada paham konstruktivisme. Ensensi teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus secara individu menemukan dan mentransfer informasi-informasi kompleks apabila mereka harus menjadikan informasi itu miliknya sendiri. Teori konstruktivisme mengajukan peranan yang lebih aktif bagi siswa dalam pembelajarannya. Agar siswa dapat dapat membangung pengetahuannya sendiri, guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi bermakna dan relevan bagi siswa dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide dan mngajak siswa agar menyadari dan secara sadar menggunakan strategi mereka se3ndiri untuk belajar.
Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD (Student Team Archievement Division)
STAD (Student Team Archievement Division) merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi, dan agar saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Pada proses pembelajarannya melalui lima tahap,yang meliputi :
1)    Tahap penyaji materi
Pada tahap ini guru menyajikan materi, sering kali berupa pengajaran langsung atau diskusi yang dipimpin oleh guru.
2)    Tahap kegiatan kelompok
Kelompokn terdiri atas 4 atau 5 orang siswa yang merupakan gabungan cross-section yang dinilai berdasarkan prestasi akademik, jenis kelamin serta ras atau suku. Fungsi utama kelompok adalah untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok belajar dan lebih khusus lagi untuk mempersiapkan anggota kelompoknya agar bisa mengerjakan tes.
3)    Tahap tes individual
Untuk mengetahui keberhasilan pembelajaran, diadakan tes secara individual. Tes dikerjakan secara mandiri, hasil tes digunakan untuk mengetahui nilai perkembangan individu yang akan disumbangkan sebagai nilai kelompok.
4)    Tahap perhitungan skor perkembangan individu adalah untuk memberikan motivasi kepada siswa agar mereka lebih kuat lagi belajar dari sebelumnya.
5)    Tahap pemberian penghargaan kelompok
Penghitungan nilai kelompok dilakukan dengan cara menjumlahkan masing-masing nilai perkembangan individu dalam kelompok dan hasilnya dibagi dalam jumlah anggota dalam kelompok sehingga mendapatkan skor rata-rata.